, Wahyu's Blog: PENGERTIAN, KARAKTER, TINGKATAN, DAN CABANG-CABANG IMAN

Pages

Selasa, 18 September 2012

PENGERTIAN, KARAKTER, TINGKATAN, DAN CABANG-CABANG IMAN


PENGERTIAN IMAN
Secara etimologis, Iman (bahasa Arab : الإيمان) berarti percaya. Perkataan iman (إيمان) diambil dari kata kerja aamana (أمن) – yu’minu (يؤمن) yang berarti percaya atau membenarkan. Percaya berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan (ma'rifat). Dalam arti kepercayaan terhadap sesuatu itu tumbuh dengan dilandasi dan didasari pengetahuan dan pengenalan terhadapnya. Jika seseorang mempercayai sesuatu maka dia mengetahui dan mengenalnya. Dalam Khasyiyah Jami' al-Shahih lil imam al-Bukhari disebutkan bahwa kadar dan tingkat keimanan seseorang kepada Allah SWT itu tergantung pada sejauh mana kadar pengetahuan dan pengenalan (ma’rifatullah) orang tersebut kepada Allah SWT.[1] Jadi seseorang yang beriman kepada Allah SWT, maka tentunya dia mengetahui dan mengenal Allah SWT. Mengenal dan mengetahui Allah SWT berbeda dengan mengenal makhluk-Nya. Mengenal dan mengetahui Allah SWT adalah mengenal sifat-sifat-Nya, perintah-Nya dan larangan-Nya yang dapat diperoleh dengan cara men-tadabburi dan mentafakuri ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyat (tersirat) di alam raya maupun ayat qur'aniyat (tersurat) dan tertulis dalam Qur'an. Meskipun demikian, tidaklah merupakan kemestian orang yang mengetahui sesuatu otomatis mempercayai dan mengimaninya. Adakalanya mengetahui sesuatu tetapi tidak mengimaninya seperti iblis yang mengetahui (ma'rifat) terhadap Allah SWT, tetapi dia tidak mengimani dan tidak mau tunduk pada perintah Allah SWT SWT.
Secara termonologis, iman adalah: اَلْاِيْمَانُ عَقْدٌ بِالْقَلْبِ وَ اِقْرَارٌ بِالِّسَانِ وَ عَمَلٌ بِالْاَرْكَانِ[2] (Keyakinan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota tubuh). Berikut penjelasan tentang ketiga perkara di atas:
Keyakinan dengan hati (عَقْدٌ بِالْقَلْبِ)
Tidak ada iman tanpa keyakinan hati. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama akan kafirnya kaum munafikin yang mengaku beriman dengan lisan dan amalan mereka akan tetapi mereka tidak meyakininya dengan hati.
Allah SWT SWT berfirman:


Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah SWT". dan Allah SWT mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah SWT mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta”.(Q.S. Al Munaafiquun : 1)
Maka lihatlah bagaimana mereka mengucapkan syahadatain langsung di hadapan Rasulullah SAW SAW, mereka shalat di belakang Rasulullah SAW SAW, mereka menyerahkan langsung zakat mereka ke tangan Rasulullah SAW SAW dan seterusnya, akan tetapi semua amalan besar lagi hebat tersebut tidak berarti di hadapan Allah SWT SWT, bahkan Allah SWT SWT menetapkan hukum-Nya kepada mereka, "Sesungguhnya orang-orang munafik berada di lapisan terbawah dari neraka”. Hal itu karena Allah SWT telah membongkar kebusukan hati mereka dengan firman-Nya, "Di antara manusia yang mengatakan, "kami beriman kepada Allah SWT dan hari akhir," padahal mereka bukanlah orang-orang yang beriman”.
Oleh karena itu, Allah SWT SWT mempersyaratkan tidak adanya keragu-raguan dalam keimanan yang dibuktikan dengan amalan saleh. Allah SWT menyatakan, "Tidak ada orang-orang yang beriman kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu, lalu mereka berjihad dengan harta-harta dan jiwa-jiwa mereka di jalan Allah SWT. Merekalah orang-orang yang jujur keimanannya”.
Abu Manshur Al-Maturidi (perintis sekte Al-Maturidiah) berpendapat bahwa Iman itu hanya dengan pembenaran hati semata. Ini adalah pendapat yang batil karena melazimkan Abu Thalib mati dalam keadaan beriman, karena dia membenarkan agama Rasulullah SAW, walaupun dia tidak mau mengucapkan dan mengamalkannya. Dan batilnya kelaziman dari sesuatu menunjukkan batilnya sesuatu tersebut.
Kemudian yang lebih parah lagi adalah keyakinan Jahmiah (dimunculkan oleh Jahm bin Shafwan) dan juga pendapat Abu Al-Husain Ash-Shalihi (salah seorang pembesar sekte Al-Qadariah). Dimana mazhab mereka menyatakan bahwa keimanan itu cukup dengan hati atau mengenal siapa Rabbnya. Kalau hati sudah mengetahui siapa Rabbnya maka dia adalah mukmin sejati. Ini adalah mazhab yang paling batil, karena di antara kelazimannya adalah: Iblis, Firaun dan para pengikutnya, ahli kitab dan juga kaum musyirikin adalah mukmin sejati, karena tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali mengenal Allah SWT. Kalau kelazimannya seperti ini, maka jelas sudah kebatilan mazhab ini.
Pengucapan dengan Lisan (اِقْرَارٌ بِالِّسَانِ)
Seseorang dikatakan tidak beriman terhadap sesuatu sampai dia mengucapkan dengan lisannya apa yang dia imani tersebut. Karenanya barangsiapa yang mengimani sesuatu dengan hatinya akan tetapi dia tidak mengucapkannya maka dia tidaklah dihukumi beriman kepadanya, selama dia sanggup untuk mengucapkannya dengan lisannya. Allah SWT berfirman:


Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Q.S. An Nisaa’ : 65).
Maka dalam ayat ini Allah SWT meniadakan keimanan dari seseorang sampai mereka menerima dengan sepenuh hati keputusan Rasulullah SAW lalu melaksanakan keputusan tersebut dengan lisan atau perbuatan mereka. Rasulullah SAW juga bersabda, "Iman mempunyai 73 sampai 79 cabang, yang paling utama -dalam sebagian riwayat, yang paling tinggi- adalah ucapan 'laa ilaha illAllah SWT', yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan dan malu adalah salah satu dari cabang-cabang keimanan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Di antara dalil akan hal ini adalah kesepakatan para ulama akan matinya Abu Thalib (paman Rasulullah SAW) dalam keadaan kafir. Karena walaupun dia meyakini kebenaran Islam, akan tetapi dia tidak mau mengucapkannya karena malu atau sombong.
Sebagian sekte sesat dalam Islam seperti Al-Karramiah (pengikut Muhammad bin Karram) meyakini bahwa Iman itu hanya pengucapan dengan lisan semata tanpa perlu meyakini dan mengamalkannya. Keyakinan ini terbantahkan dengan semua dalil yang mempersyaratkan harus adanya keyakinan hati dan pengamalan anggota tubuh dalam keimanan. Keyakinan ini juga melazimkan bahwa orang munafik itu seorang mukmin karena dia telah mengucapkan dan mengamalkan Islam (walaupun tanpa meyakinin kebenarannya) dan tentu saja kelaziman ini batil. Kalau suatu kelaziman dari sesuatu adalah kebatilan maka berarti sesuatu itu juga merupakan kebatilan.
Pengalaman dengan anggota tubuh (عَمَلٌ بِالْاَرْكَانِ)
Pengamalan dengan anggota tubuh ini termasuk permasalahan yang butuh dipahami dengan baik, yaitu amalan adalah bagian dari definisi iman, bukan penyempurnanya dan bukan pula sekedar suatu kewajiban dari iman, bahkan dia adalah keimanan itu sendiri. Tidak ada amalan tanpa iman dan tidak ada juga iman tanpa amalan.
Di antara dalilnya adalah ayat dalam surah An Nisaa’ dan hadits Abu Hurairah riwayat Muslim, yang telah kami sebutkan di atas.
Rasulullah SAW juga bersabda kepada rombongan Abdu Al-Qais, "Saya memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah SWT semata. Tahukah kalian apa itu beriman kepada Allah SWT semata? Yaitu persaksian bahwa tiada sembahan yang berhak disembah selain Allah SWT, penegakan shalat, penunaian zakat, berpuasa ramadhan dan kalian menyerahkan seperlima dari ghanimah kalian”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Dalam hadits ini, Beliau menafsirkan keimanan dengan amalan zhahir.
Sebagian kelompok dari sekte Murjiah berpendapat bahwa iman itu hanya pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lisan. Adapun amalan, maka mereka menganggapnya hanya sebagai kewajiban iman, yang kalau ditinggalkan maka pelakunya berdosa dan akan mendapatkan siksaan, hanya saja hal tersebut tidak berpengaruh pada keimanannya. Misalnya seseorang melakukan maksiat dengan meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram, maka menurut mereka maksiat tersebut tidak berpengaruh dan tidak akan mengurangi imannya, walaupun dia berdosa dan akan disiksa karenanya. Maka mereka tidak menggolongkan amalan ke dalam syarat-syarat keimanan, akan tetapi mereka hanya menggolongkannya ke dalam kewajiban-kewajiban iman.
Ini adalah mazhab yang batil berdasarkan dalil-dalil di atas. Kalau amalan mempengaruhi keimanan maka itu menunjukkan bahwa amalan merupakan salah satu dari syarat keimanan. Kelaziman batil dari mazhab ini adalah lahirnya ucapan dari sebagian di antara mereka (murjiah), "Keimanan peminum khamar sama seperti keimanan Abu Bakar”. Kalau dikatakan kepadanya, "Peminum khamar dan pezina adalah pelaku maksiat, keimanan mereka tidak mungkin bisa disetarakan dengan keimanan Abu Bakar”. Maka dia akan serta merta menjawab, "Amalan maksiat itu masalah lain, dia bukan bagian dari iman, karena iman itu hanya ucapan dan keyakinan. Abu Bakar mengucapkan keimanan dan meyakininya, demikian halnya para pelaku maksiat, kalau begitu keimanan mereka sama”. Kelaziman batil ini mengharuskan batilnya mazhab ini.

KARAKTER IMAN
Iman memiliki tiga karakter atau sifat yaitu: Pertama, iman itu bersifat abstrak dengan pengertian manusia tidak dapat mengetahui dan mengukur kadar keimanan orang lain. Iman bersifat abstrak karena iman ada dalam hati dan isi hati tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT dan orang tersebut. Namun meskipun demikian ada sebuah hadits yang memberi petunjuk kepada kita bahwa meskipun iman itu bersifat abstrak, tetapi iman dapat diidentifikasi dari amaliah dan ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Nabi bersabda: “Apabila seseorang membiasakan dirinya pergi ke mesjid (untuk menunaikan shalat), maka persaksikanlah bahwa orang tersebut beriman" (al-Hadits)[3]. Kedua, iman bersifat fluktuatif artinya naik turun, bertambah dan berkurang, bertambah karena melaksanakan keta'atan dan berkurang karena melakukan kemaksiatan[4]. Kondisi iman bersifat fluktuatif ini karena iman bertempat dalam hati yang mana karakter dasar hati adalah berubah-ubah dan tidak tetap dalam satu kondisi, hati kadang senang, sedih, marah, rindu, cinta, benci sehingga dalam bahasa Arab hati dinamai qalbun yang artinya bolak-balik dan tidak tetap dalam satu kondisi.[5] Abu Musa al-‘Asy’ari menyebutkan:"sesungguhnya hati disebut qalbun tiada lain karena hati selalu bolak-balik dan berubah[6]. Oleh karena itu iman mesti dijaga dan dipupuk. Iman itu ibarat tanaman yang mesti dipupuk dan pelihara dengan baik. Karena apabila iman tidak dipelihara dan dipupuk bisa saja iman itu mati ataupun kalau tidak mati, iman itu tidak akan tumbuh dengan baik dan tidak akan berbuah amal kebajikan seperti tanaman yang tidak terurus dan ditelantarkan yang mungkin mati atau mungkin hidup tetapi tidak berbuah dan tidak menghasilkan. Diantara hal-hal yang harus dilakukan untuk memelihara dan memupuk keimanan adalah mentadaburi ayat-ayat Alqur'an, men-tafakkuri ciptaan-ciptaan Allah SWT, berdzikir, berdo'a kepada Allah SWT agar diberi anugrah iman yang kuat[7] dan senantiasa mengamalkan ajaran-ajaran agama dengan konsisten. Dalam sebuah Hadits Nabi bersabda:"Perbaharuilah imanmu". Lalu para shahabat bertanya kepada Rasul:"Bagaimana kami memperbaharui iman kami. Beliau menjawab:"Perbanyaklah menyebut La Ilaha IllAllah SWT". Ketiga, iman itu bertingkat-tingkat. Artinya tingkat dan kadar keimanan dalam hati orang beriman itu berbeda dan tidak sama, ada yang kuat, ada yang sedang dan ada yang lemah imannya. Kadar dan kualitas keimanan Abu Bakar dan shahabat-shahabat Nabi tentunya berbeda dengan keimanan orang-orang sesudahnya. Alqur'an pun dalam meredaksikan orang-orang yang beriman adakalanya menggunakan kata Alladzina Amanu dan terkadang menggunakan kata al-Mu'minun. Ada perbedaan makna antara kedua kata tersebut. Kata Alladziina Aamanuu mengandung arti seluruh orang yang beriman baik yang kuat imannya, yang sedang imannya maupun yang lemah keimanannya. Sedangkan kata al-Mu'minun mengandung arti orang mu'min yang memiliki kualitas keimanan yang sempurna.
TINGKATAN IMAN
Taklid[8]
Yakni imannya orang yang tidak beralasan, tidak mempunyai dalil/argumentasi, imannya hanya mengikuti orang lain namun hatinya yakin dan Jazim iman kepada adanya Allah SWT SWT.
Dalam menghukumi orang yang iman Taqlid (Mukmin Muqollid) para ulama berpendapat :
Al-‘Asy’ary, Abi Bakrin Bakilani, Imam Malik dan Imam Haromain, berpendapat bahwa Iman Taqlid hukumnya adalah Sah, hanya orangnya berdosa mengikuti orang lain tanpa dalil.
Ibnu ‘Aroby dan Imam Sanusi, Iman Taqlid  tidak Sah, tetapi didalam kitab Kubro, Imam Sanusi mencabut lagi pendapat tersebut.
Imam Dasuqi berpendapat bahwa  taqlid sah, hanya berdosa bagi orang yang mampu berpikir. Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT SWT. Dalam Q.S. Al-Baqarah : 286 yang berbunyi:

Artinya : “Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”
Ilmul Yaqin[9]
Ilmul yaqin adalah tingkatan iman dimana orang yang berada pada tingkatan ini menyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu. Misalnya, di Mekkah ada Kakbah. Kita percaya, karena menurut teorinya begitu, ilmunya begitu. Apa pun yang terjadi pada Kakbah kita percaya, karena belum tahu yang sebenarnya bagaimana.
Ainul Yaqin
Keyakinan yang dialami oleh orang yang telah melewati tahap pertama, yaitu ilmu al yaqin, sehingga setiap kali dia melihat sesuatu kejadian, tanpa melalui proses sebab akibat lagi dia langsung meyakini akan wujud Allah SWT.[10]
Ainul yaqin adalah orang yakin karena telah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah pergi ke Mekkah, bisa melihat sendiri Kakbah. Keyakinannya akan berbeda dengan orang yang yakin berdasarkan teori atau ilmu. Orang yang mengatakan Kakbah itu ujungnya bulat, kalau hanya dengan ilmu bisa jadi kita percaya. Tapi bagi orang yang telah melihatnya akan berkata sesuai dengan yang telah dia lihat.[11]
Haqqul Yaqin
Adalah keyakinan dimiliki oleh orang yang telah menyadari bahwa alam semesta ini pada hakekatnya adalah bayangan dari Penciptanya, sehingga dia dapat merasakan wujud yang sejati itu hanyalah Allah SWT, sedangkan lainnya hanyalah bukti dari wujud yang sejati tersebut, yaitu Allah SWT swt.[12]
Haqqul yaqin adalah orang yakin dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan lezatnya tawaf, berdoa di Multazam, merasakan di ijabahnya doa, dan mengatakan Kakbah itu luar biasa sekali. Setelah pulang, doa kita diijabah dan susah didustakan. Akan semakin berbeda keyakinannya
dengan orang yang hanya yakin berdasarkan ilmu saja tanpa merasakan bukti kebenarannya.[13]
CABANG-CABANG IMAN[14]
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Iman itu memiliki tujuh puluh cabang (riwayat lain tujuh puluh tujuh cabang) dan yang paling utama ialah Laa ilaaha illa Allah SWT, dan yang terendah ialah mebuang duri dari jalan. Dan malu juga merupakan salah satu cabang iman.” (Ashhabus Sittah).
Banyak ahli hadits yang menulis risalah mengenai cabang iman di antaranya ialah : Abu Abdillah Halimi rah a dalam Fawaidul Minhaj, Imam Baihaqi rah a dalam Syu’bul Iman, Syaikh Abdul Jalil rah a dalam Syu’bul Iman, Ishaq bin Qurthubi rah a dalam An Nashaih, dan Imam Abu Hatim rah a dalam Washful Iman wa Syu’buhu.
Secara garis besar, cabang iman terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu yang berhubungan dengan: 1) Niat, aqidah, dan amalan hati, 2) Lidah, dan 3) Seluruh anggota tubuh.
Yang Berhubungan dengan Niat, Aqidah, dan Hati
1)        Beriman kepada Allah SWT, kepada Dzat-Nya, dan segala sifat-Nya, meyakini bahwa Allah SWT adalah Maha Suci, Esa, dan tiada bandingan serta perumpamaannya.
2)        Selain Allah SWT semuanya adalah ciptaan-Nya. Dialah yang Esa.
3)        Beriman kepada para malaikat.
4)        Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah SWT kepada para Rasul-Nya.
5)        Beriman kepada para Rasul.
6)        Beriman kepada takdir yang baik maupun buruk, bahwa semua itu dating dari Allah SWT.
7)        Beriman kepada hari Kiamat, termasuk siksa dan pertanyaan di dalam kubur, kehidupan setelah mati, hisab, penimbangan amal, dan menyeberangi shirat.
8)        Meyakini akan adanya Syurga dan Insya Allah SWT semua mukmin akan memasukinya.
9)        Meyakini neraka dan siksanya yang sangat pedih untuk selamanya.
10)      Mencintai Allah SWT SWT.
11)      Mencintai karena Allah SWT dan membenci karena Allah SWT termasuk mencintai para sahabat, khususnya Muhajirin dan Anshar, juga keluarga Nabi Muhammad saw dan keturunannya.
12)      Mencintai Rasulullah saw, termasuk siapa saja yang memuliakan beliau, bershalawat atasnya, dan mengikuti sunnahnya.
13)      Ikhlash, tidak riya dalam beramal dan menjauhi nifaq.
14)      Bertaubat, menyesali dosa-dosanya dalam hati disertai janji tidak akan mengulanginya lagi.
15)      Takut kepada Allah SWT.
16)      Selalu mengharap Rahmat Allah SWT.
17)      Tidak berputus asa dari Rahmat Allah SWT.
18)      Syukur.
19)      Menunaikan amanah.
20)      Sabar.
21)      Tawadhu dan menghormati yang lebih tua.
22)      Kasih saying, termasuk mencintai anak-anak kecil.
23)      Menerima dan ridha dengan apa yang telah ditakdirkan.
24)      Tawakkal.
25)      Meninggalkan sifat takabbur dan membanggakan diri, termasuk menundukkan hawa nafsu.
26)      Tidak dengki dan iri hati.
27)      Rasa malu.
28)      Tidak menjadi pemarah.
29)      Tidak menipu, termasuk tidak berburuk sangka dan tidak merencanakan keburukan atau maker kepada siapapun.
30)      Mengeluarkan segala cinta dunia dari hati, termasuk cinta harta dan pangkat.
Yang Berhubungan dengan Lidah
1)        Membaca kalimat Thayyibah.
2)        Membaca Al Quran yang suci.
3)        Menuntut ilmu.
4)        Mengajarkan ilmu.
5)        Berdoa.
6)        Dzikrullah, termasuk istighfar.
7)        Menghindari bicara sia-sia.
Yang berhubungan dengan Seluruh Anggota Tubuh
1)        Bersuci. Termasuk kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggal.
2)        Menjaga shalat. Termasuk shalat fardhu, sunnah, dan qadha’.
3)        Bersedekah. Termasuk zakat fitrah, zakat harta, member makan, memuliakan tamu, serta membebaskan hamba sahaya.
4)        Berpuasa, wajib maupun sunnah.
5)        Haji, fardhu maupun sunnah.
6)        Beriktikaf, termasuk mencari lailatul qadar di dalamnya.
7)        Menjaga agama dan meninggalkan rumah untuk berhijrah sementara waktu.
8)        Menyempurnakan nazar.
9)        Menyempurnakan sumpah.
10)      Menyempurnakan kifarah.
11)      Menutup aurat ketika shalat dan di luar shalat.
12)      Berkorban hewan, termasuk memperhatikan hewan korban yang akan disembelih dan menjaganya dengan baik.
13)      Mengurus jenazah.
14)      Menunaikan utang.
15)      Meluruskan mu’amalah dan meninggalkan riba.
16)      Bersaksi benar dan jujur, tidak menutupi kebenaran.
17)      Menikah untuk menghindari perbuatan keji dan haram.
18)      Menunaikan hak keluarga dan sanak kerabat, serta menunaikan hak hamba sahaya.
19)      Berbakti dan menunaikan hak orang tua.
20)      Mendidikan anak-anak dengan tarbiyah yang baik.
21)      Menjaga silaturrahmi.
22)      Taat kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.
23)      Menegakkan pemerintahan yang adil
24)      Mendukung jemaah yang bergerak di dalam kebenaran.
25)      Mentaati hakim (pemerintah) dengan syarat tidak melanggar syariat.
26)      Memperbaiki mu’amalah dengan sesama.
27)      Membantu orang lain dalam kebaikan.
28)      Amar makruh Nahi Mungkar.
29)      Menegakkan hukum Islam.
30)      Berjihad, termasuk menjaga perbatasan.
31)      Menunaikan amanah, termasuk mengeluarkan 1/5 harta rampasan perang.
32)      Memberi dan membayar utang.
33)      Memberikan hak tetangga dan memuliakannya.
34)      Mencari harta dengan cara yang halal.
35)      Menyumbangkan harta pada tempatnya, termasuk menghindari sifat boros dan kikir.
36)      Memberi dan menjawab salam.
37)      Mendoakan orang yang bersin.
38)      Menghindari perbuatan yang merugikan dan menyusahkan orang lain.
39)      Menghindari permainan dan senda gurau.
40)      Menjauhkan benda-benda yang mengganggu di jalan.



[1] Hasyiyah Jami’ al-Shahih, Maktabah Darul Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt, hal.12 yang bunyinya: و ایمان الشخص علي قدرمعرفتھ بالله artinya: ”dan keimanan seseorang itu sesuai dengan kadar/ukuran ma’rifatnya kepada Allah”.
[2] H.R. Ibnu Majah, At-Thabrani.
[3] Fathul Majid, Juz I, hal.333 dalam Program al-Maktabah al-Syamilah.
[4] Itsbatushifat al-‘Uluwwi, Juz. 1hal. 122 dalam Program al-Maktabah al-Syamilah.
[5] Aam Amirudin, Tafsir kontemporer, Khazanah Intelektual, Bandung, 2006,Jilid 1, hal.143. dalam buku tersebut, Ustadz Aam Amirudin hanya menyebutkan dua karakter/sifat iman yaitu abstrak dan fluktuatif. Sedangkan sifat iman yang ketiga adalah pendapat Erlan Naofal, Hakikat Iman, berdasarkan dalil ونھم s ذین یل s م ال s ونھم ث s ذین یل s م الل s ي ث s ركم قرن s خی (Sebaik-baik kamu adalah generasiku, kemudian generasi sesudahku, lalu generasi sesudahnya).
[6] انما سمي القلب قلبا لتقلبه al-Durr al-Mantsur, Juz. I, hal. 155 dalam Program al-Maktabah al-Syamilah.
[7] Dalam kitab Bidayat al-Hidayat, Imam al-Ghazali memuat do'a sebagai berikut:Ya Allah sesungguhnya kami memohon/meminta kepada-Mu iman yang murni yang terus menerus menyinari hati-hati kami dan keyakinan yang benar sehingga kami meyakini bahwasanya tidak akan menimpa kepada kami kecuali apa yang telah Engkau tetapkan hal itu buat kami). Al-Ghazali, Bidayat al-Hidayat, Pustaka al-'Alawiyyah, Semarang, tt, hal. 23
[8] http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/2040754-tingkat-keimanan/
[9] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120
[10] http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080812091644AABApaP
[11] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120
[12] http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080812091644AABApaP
[13] http://www.gagakmas.org/qolbu/?postid=120

0 komentar:

Posting Komentar